BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
belajar matematika, pada dasarnya seseorang tidak terlepas dari pemecahan
masalah karena berhasil atau tidaknya seseorang dalam matematika ditandai
adanya kemampuan pemecahan masalah yang dihadapinya (Fadillah, 2008). Pemecahan
masalah itu penting bukan saja bagi kehidupan siswa dikemudian hari ketika akan
mendalami matematika, tetapi juga mereka
yang akan menerapkannya baik dalam bidang studi lain maupun dalam kehidupan
sehari-hari (Ruseffendi, 1991)
Bidang studi matematika secara garis besar
memiliki dua arah pengembangan yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan
masa yang akan datang (Subakti, 2009: 1). Berdasarkan pendapat Subakti ini maka
ada dua visi dalam pembelajaran matematika. Visi pertama mengarahkan
pembelajaran matematika untuk pemahaman konsep-konsep yang kemudian diperlukan
untuk menyelesaikan masalah matematika dan ilmu pengetahuan yang lainnya,
sedangkan visi kedua mengarahkan pada masa depan yang lebih luas yaitu
matematika memberikan kemampuan pemecahan masalah, sistematis, kritis, cermat,
bersikap objektif dan terbuka sehingga diharapkan kemampuan ini akan berpengaruh
positif bagi masa depan siswa.
Ditengah
pentingnya kemampuan pemecahan masalah, ditemukan fakta bahwa kemampuan
pemecahan masalah yang dimiliki oleh siswa Indonesia tergolong masih rendah.
Hal ini berdasarkan hasil tes Trends
International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 2007 yang
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking) siswa
Indonesia kurang dari satu persen di bawah rata-rata internasional yaitu
sebesar 2 %. Sedangkan siswa di negara Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura di
atas 40 % (Rizali, 2008). Fakta yang serupa didapatkan berdasarkan hasil tes
PISA yang menyatakan bahwa siswa
Indonesia yang memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik tidak lebih dari
10 %, kemampuan pemecahan masalah siswa Indonesia menduduki peringkat ke 63
dari 65 negara (PISA, 2009).
Rendahnya
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa akan berdampak pada rendahnya
prestasi siswa disekolah. Kemampuan pemecahan masalah dapat diperoleh bila
dalam proses pembelajaran terjadi komunikasi antara guru dengan siswa dan
antara siswa dengan siswa yang merangsang terciptanya partisipasi siswa
(Subakti, 2009). Artinya, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah yaitu dengan memilih model pembelajaran
yang lebih menekankan keaktifan pada diri siswa. Dalam hal ini model
pembelajaran yang akan dibahas adalah model pembelajaran kooperatif tipe CORE.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah model pembelajaran CORE itu ?
2. Apa saja kelebihan dan kelemahan dari model pembelajaran
CORE ?
3. Bagaimana tahap yang dilakukan dalam pembelajaran tipe
CORE ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui apa yg dimaksud model pembelajaran CORE
2. Memahami kelebihan dan kelemahan dari model pembelajaran
CORE
3. Mengetahui tahap-tahap yang dilakukan dalam pembelajaran
kooperatif tipe CORE
BAB II
PEMBAHASAN
A. Paradigma Baru Pendidikan
Freire (1986) memberikan paradigma baru bagi pendidikan
berdasarkan paradigma kritis. Freire mengacu pada suatu landasan bahwa
pendidikan adalah proses memanusiawikan manusia kembali. Gagasan tersebut
berangkat dari pendidikan yang menjadi pelanggeng dehumanisasi (peniadaan
pemanusiawian manusia). Freire membagi kesadaran manusia dalam belajar ke dalam
tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah kesadaran magis, yakni kesadaran
yang tidak mampu mengetahui antara faktor satu dengan faktor lainnya. Proses
pendidikan metode tersebut tidak memberikan kemampuan analisa tentang kaitan
antara sistem yang diciptakan dalam proses pelatihan dalam pendidikan dengan
permasalahan yang terjadi di masyarakat. Peserta didik secara dogmatis menerima
kebenaran dari pendidik tanpa ada mekanisme pemahaman makna setiap konsepsi
kehidupan masyarakat.
Kelompok kedua adalah kesadaran naïf, yakni melihat aspek
manusia menjadi penyebab masalah yang berkembang di masyarakat. Pendidikan
dalam konteks naïf tersebut tidak mempertanyakan sistem dan struktur pelatihan.
Bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar. Sistem tersebut
dianggap given. Oleh sebab itu, tidak perlu dipertanyakan. Tugas
pelatihan atau proses pelatihan adalah mengarahkan agar peserta didik dapat
masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.
Kelompok ketiga disebut dengan kesadaran kritis. Kesadaran
tersebut lebih melihat sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Paradigma
kritis dalam pendidikan melatih peserta didik mampu mengidentifikasi
ketimpangan struktur dan sistem yang ada kemudian mampu melakukan analisa bagaimana
sistem bekerja serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam
paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta didik
terlibat suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan
sesuai dengan diri peserta didik.
Pertanyaannya, apakah selama ini pendidikan yang
diselenggarakan belum menyentuh pola kesadaran kritis? jawabnya, secara tegas
belum. Mengapa harus malu-malu mengatakan bahwa sistem pendidikan kita ini
masih bersifat magis dan naïf. Nyatanya, memang demikian. Lihat saja,
pendidikan yang sering diselenggarakan berorientasi pada sistem baku yang harus
dianut karena telah digariskan dari pusat atau daerah atau dari mana saja.
Tidak pernah, pendidikan yang diselenggarakan oleh kita berorientasi pada
peserta pendidikan. Materi bersifat fleksibel berdasarkan keinginan peserta.
Peserta terlibat secara total karena terjadi pemanusiawian peserta kursus.
Kembali ke Freire, pendidikan dengan paradigma kritis
menempatkan peserta didik sebagai subjek. Bagi Freire, fitrah manusia sejati
adalah menjadi pelaku atau subjek bukan penderita atau objek. Panggila manusia
sejati adalah menjadi pelaku sadar yang bertindak mengatasi dunia. Manusia
harus menggeluti dunia dengan sikap kritis dan daya cipta. Manusia memiliki
kepribadian dan eksistensi berbeda dengan binatang yang hanya digerakkan oleh
naluri. Haal itu berarti manusia tidak memiliki keterbatasan tetapi dengan
fitrah kemanusiaannya seseorang harus mampu mengatasi situasi-situasi batas
yang mengekangnya.
Menurut Freire, jika seseorang pasrah, tetap pada sistem dan
struktur yang sebenarnya usang dan menyerah pada sistem tersebut, sesungguhnya
ia sedang tidak manusiawi. Seorang yang manusiawi justru harus menjadi pencipta
sejarahnya sendiri. Dengan begitu, pendidikan yang memanusiawikan manusia dapat
dikatakan mengintegrasikan antara IQ, EQ, SQ dan kecerdasan lainnya. Syaratnya,
pendidik harus kuat dalam pemaduan itu.
Berdasarkan hal
diatas, bagi Freire pendidikan haruslah berorientasi pengenalan realitas
diri manusia dan diri sendiri. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan
tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektika yang ajeg, yakni antara
pengajar, peserta didik dan realitas dunia. Yang pertama dan kedua adalah
subjek yang sadar. Sementara yang ketiga adalah objek yang tersadari atau
disadari. Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem
pendidikan mapan selama ini.
Sistem pendidikan yang ada selama ini ibarat sebuah bank.
Peserta didik diberikan pengetahuan agar kelak mendatangkan hasil yang
berlipat-lipat. Peserta didik lantas diperlakukan sebagai bejana kosong yang
akan diisi, sebagai sarana tabungan. Guru atau pelatih adalah subjek aktif.
Peserta didik adalah subjek pasif yang penurut dan diperlakukan tidak berbeda.
Pendidikan akhirnya bersifat negatif dengan guru memberikan informasi yang
harus ditelan oleh peserta didik yang wajib diingat dan dihafalkan. Berikut
daftar antagonis pendidikan gaya bank yang sangat magis dan naïf :
1. Guru mengajar sedangkan murid
belajar
2. Guru tahu segalanya sedangkan murid
tidak tahu apa-apa
3. Guru pikir sedangkan murid
dipikirkan
4. Guru bicara sedangkan murid
mendengarkan
5. Guru mengatur sedangkan murid diatur
6. Guru memilih dan memaksakan
pilihannya sedangkan murid menuruti
7. Guru bertindak sedangkan murid
membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru
8. Guru memilih apa yang diajarkan
sedangkan murid menyesuaikan diri
9. Guru mengacaukan wewenang wawasan
yang dimilikinya dengan wewenang profesionalismenya dan mempertentangkannya
dengan kebebasan murid
10. Guru adalah subjek proses belajar
sedangkan murid objeknya
Oleh karena guru atau pelatih menjadi pusat segalanya, maka
menjadi hal yang lumrah jika murid mengidentifikasikan diri seperti gurunya
sebagai prototipe manusia ideal yang harus ditiru dan digugu serta diteladani
dalam segala hal. Implikasinya, kelak murid-murid itu sebagai duplikasi guru
mereka dulu. Pada saat itu, akan lahir generasi baru yang bersifat penindas.
Jadi, penindasan bisa jadi diawali dari dunia pendidikan. (Suyatno, 2009:3)
B. Hakekat Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) sesuai
dengan fitrah manusia sebagai makhluk social yang penuh ketergantungan dengan
orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas dan
rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyataan itu, belajar berkelompok secara
kooperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing)
pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih
berinteraksi, komunikasi dan sosialisasi karena kooperatif adalah miniatur dari
hidup bermasyarakat dan belajar menyadari kekurangan serta kelebihan
masing-masing.
Metode belajar yang menekankan belajar dalam kelompok
heterogen saling membantu satu sama lain, bekerja sama menyelesaikan masalah
dan menyatukan pendapat untuk memperoleh keberhasilan yang optimal, baik
kelompok maupun individual.
Jadi, model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan
pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu
mengkontruksi konsep, menyelesaikan persoalan atau inkuiri. Menurut teori dan
pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok
terdiri atas 4-5 orang, siswa heterogen (kemampuan, gender, karakter), ada
kontrol dan fasilitasi, serta meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa
laporan atau presentasi. Langkah pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut
:
1. Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
2. Menyajikan informasi
3. Mengorganisasikan siswa ke dalam
kelompok-kelompok belajar
4. Membimbing kelompok belajar dan
bekerja
5. Evaluasi
6. Memberikan penghargaan
Metode pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa tipe
dengan langkah yang berbeda. Tipe pembelajaran kooperatif yang akan dibahas
disini adalah tipe CORE (Connecting, Organizing,
Reflecting, dan
Extending). (Suyatno, 2009:51)
C. Pengertian Model
Pembelajaran CORE
Model CORE
adalah sebuah model yang mencakup empat proses yaitu Connecting (menghubungkan informasi lama dengan informasi baru), Organizing (mengorganisasikan
pengetahuan), Reflecting (menjelaskan
kembali informasi yang telah diperoleh) dan Extending (memperluas pengetahuan).
(Tresnawati, 2006)
Tahapan
pembelajaran dengan model CORE menawarkan sebuah proses pembelajaran yang
memberi ruang bagi siswa untuk berpendapat, mencari solusi serta membangun
pengetahuannya sendiri. Hal ini memberikan pengalaman yang berbeda sehingga
diharapkan bisa meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada diri siswa.
Model pembelajaran CORE merupakan
model pembelajaran yang mencakup empat aspek kegiatan yaitu connecting,
organizing, reflecting dan extending. Adapun penjelasan keempat aspek
tersebut adalah : (Suyatno,2009:67)
¡
Connecting (C) merupakan
kegiatan mengoneksikan informasi lama dan informasi baru dan antar konsep.
¡
Organizing (O) merupakan
kegiatan mengorganisasikan ide-ide untuk memahami materi.
¡
Reflecting (R) merupakan
kegiatan memikirkan kembali, mendalami dan menggali informasi yang sudah
didapat.
¡
Extending (E) merupakan
kegiatan untuk mengembangkan, memperluas, menggunakan dan menemukan.
D.
Karakteristik Model
Pembelajaran CORE
Model
pembelajaran yang menekankan kemampuan berpikir siswa untuk menghubungkan, mengorganisasikan,
mendalami, mengelola dan mengembangkan informasi yang didapat. Dalam model ini
aktivitas berpikir sangat ditekankan kepada siswa. Siswa dituntut untuk dapat
berpikir kritis terhadap informasi yang didapatnya. Kegiatan mengoneksikan
konsep lama-baru siswa dilatih untuk mengingat informasi lama dan menggunakan
informasi/konsep lama tersebut untuk digunakan dalam informasi/konsep baru.
Kegiatan
mengorganisasikan ide-ide dapat melatih kemampuan siswa untuk
mengorganisasikan, mengelola informasi yang telah dimilikinya. Kegiatan
refleksi, merupakan kegiatan memperdalam, menggali informasi untuk memperkuat
konsep yang telah dimilikinya.
Extending, dengan
kegiatan ini siswa dilatih untuk mengembangkan, memperluas informasi yang sudah
didapatnya dan menggunakan informasi dan dapat menemukan konsep dan informasi
baru yang bermanfaat
E.
Keunggulan dan Kelemahan Model
Pembelajaran CORE
1.
Keunggulan
a. Siswa aktif
dalam belajar
b. Melatih daya
ingat siswa tentang suatu konsep/informasi
c. Melatih daya
pikir kritis siswa terhadap suatu masalah
d. Memberikan
pengalaman belajar kepada siswa,karena siswa banyak berperan aktif dalam
pembelajaran sehingga pembelajaran menjadi bermakna
2.
Kelemahan
a.
Membutuhkan persiapan matang dari guru untuk
menggunakan model ini
b.
Menuntut siswa untuk terus berpikir kritis
c.
Memerlukan banyak waktu
d.
Tidak semua materi pelajaran dapat menggunakan
model ini
F.
Sintaks Model Pembelajaran CORE
Ÿ
Membuka pelajaran dengan kegiatan yang menarik
siswa yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan.
Ÿ
Penyampaian konsep lama yang akan dihubungkan
dengan konsep baru oleh guru kepada siswa. Connecting (C)
Ÿ
Pengorganisasian ide-ide untuk memahami materi yang
dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru. Organizing (O)
Ÿ
Pembagian kelompok secara heterogen (campuran
antara yang pandai, sedang dan kurang), terdiri dari 4-5 orang.
Ÿ
Memikirkan kembali, mendalami dan menggali
informasi yang sudah didapat dan dilaksanakan dalam kegiatan belajar kelompok
siswa. Reflecting (R)
Ÿ
Pengembangan, memperluas, menggunakan dan
menemukan,melalui tugas individu dengan mengerjakan tugas. Extending (E)
Berdasarkan sintaksnya, model CORE sangat
erat kaitannya dengan langkah-langkah Polya (1945) dalam pemecahan masalah
matematika yakni:
(1)
memahami masalah
(2)
merencanakan pemecahannya
(3)
melaksanakan rencana
(4)
memeriksa kembali.
Proses
Connecting erat kaitannya dengan
langkah pemecahan masalah Polya yang pertama yakni memahami masalah. Connecting yang terjadi pada tahap
apersepsi dan saat siswa mencoba memahami masalah serta menyelidiki kecukupan
data mempermudah siswa untuk menyelesaikan persoalan yang diberikan, proses ini
juga membuat siswa memaknai keterkaitan materi lebih mendalam sehingga siswa
mampu menarik kesimpulan dan memahami materi yang diberikan dalam setiap
pertemuan.
Proses
Organizing erat kaitannya dengan
perencanaan dan pelaksanaan rencana pemecahan masalah. Proses Organizing dalam diskusi kelompok dan
diskusi kelas mampu membuat siswa terbiasa menyampaikan ide-ide atau pendapat
mengenai strategi pemecahan masalah yang ada di pikirannya dan menerima
pendapat orang lain, proses ini membuat siswa berpikir lebih terbuka.
Proses Reflecting
erat kaitannya dengan memeriksa kembali. Proses Reflecting dimana siswa diberi kesempatan untuk mengkaji ulang
strategi pemecahan masalah yang telah dilakukan, memahami materi yang telah
didapatkan dalam proses diskusi, mempelajari strategi orang lain dan memikirkan
strategi yang tepat membuat siswa mampu menyadari kekeliruan saat mengerjakan
soal dan berusaha memperbaikinya. Proses Extending
yang merupakan tahap terakhir dalam pembelajaran menggunakan model CORE sangat
dipengaruhi oleh proses-proses sebelumnya.
BAB III
PENUTUP
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun mendapatkan kesimpulan :
1.
Model pembelajaran Kooperatif tipe CORE adalah sebuah
model yang mencakup empat proses yaitu Connecting,
Organizing, Reflecting dan Extending.
2.
Keunggulan dan kelemahan model pembelajaran CORE yaitu
memiliki keunggulan : siswa aktif dalam belajar, siswa terlatih daya
ingat tentang suatu konsep/informasi, daya pikir kritis siswa terhadap suatu
masalah bisa terlatih, serta memberikan pengalaman belajar kepada siswa secara
aktif dan bermakna. Sedangkan kelemahannya yakni : guru membutuhkan persiapan
matang sebelum pembelajaran, siswa dituntut untuk terus berpikir kritis, memerlukan
banyak waktu dan tidak semua materi dapat menggunakan model pembelajaran CORE.
3.
Tahap-tahap pembelajaran CORE :
a.
Guru membuka pembelajaran.
b.
Guru menyampaian konsep lama yang akan
dihubungkan dengan konsep baru kepada siswa.
c.
Guru memberikan konsep baru kemudian siswa mengorganisasian
ide-ide untuk memahami materi.
d.
Pembagian kelompok dan pemberian soal-soal yang
harus dikerjakan.
e.
Siswa menyelesaikan soal, memikirkan kembali,
mendalami dan menggali informasi yang sudah didapat.
f.
Melakukan proses pembahasan, kemudian siswa mengembangan
dan memperluas melalui tugas individu.
Terima Kasih ,,,
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Suyatno,
M.Pd. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka.
Jacob, C. 2005. Pengembangan Model ‘CORE’ dalam Pembelajaran Logika dengan
Pendekatan Reciprocal. Bandung:
FPMIPA UPI
Drs. Siarudin,
M.Pd. 2012. Modul Kuliah “Materi Pembelajaran Matematika 4”
Drs. Sartono W.
2007. Matematika SMA 2 IPA. Jakarta: Erlangga.
ST. Negoro, B.
Harahap. 2010. Ensiklopedia Matematika. Bogor: Ghalia Indonesia.
Purcell, Edwin
J. , Verberg, Dale. 1982. Kalkulus dan Geometri Analitis. Jakarta: Erlangga
0 komentar:
Posting Komentar