BAB I
PENDAHULUAN
Berbagai permasalahan dihadapi oleh guru sekolah dasar dalam pembelajaran yaitu pada mata pelajaran matematika, salah satunya adalah kesulitan siswa dalam belajar matematika yang benar. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain kesulitan dalam pemahaman konsep, pemecahan masalah (mathematical problem solving), penalaran matematika (mathematical reasoning), koneksi matematika (mathematical conection), komunikasi matematika (mathematical communication), dan lain-lain. Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika di Indonesia telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak yang peduli kepada pembelajaran matematika.
Keberhasilan proses pembelajaran merupakan hal utama yang didambakan dalam melaksanakan pendidikan di sekolah. Sebagai upaya meningkatkan keberhasilan dalam pembelajaran matematika pada masa sekarang, telah banyak dikembangkan metode-metode yang bersifat behavioristik (memanusiakan manusia), seperti: student active learning, quantum learning, quantum teaching, dan accelerated learning. Seluruh metode tersebut digunakan dalam rangka revolusi belajar yang melibatkan guru dan siswa sebagai satu kesatuan yang mempunyai hubungan timbal balik. Peran guru sebagai pengajar/ fasilitator, sedangkan siswa merupakan individu yang belajar.
Namun semua hal tersebut didalam penerapannya banyak sekali mengalami kendala, mulai dari sarana dan prasarana yang terdapat di sekolah tersebut, sumber daya manusia yang kurang menunjang, dan masih banyak lagi permasalahan-permasahan yang timbul.
Meskipun demikian guru diharapkan mampu menerapkan metode yang tepat dan sesuai dengan pengajaran matematika, guru diharapkan menanamkan prinsip atau rumus yang ada. Dalam hal ini sebelum siswa menyelesaikan sebuah soal, siswa harus memahami soal tersebut secara menyeluruh. Ia harus tahu apa yang diketahui, apa yang dicari, rumus atau teorema yang harus digunakan dan cara penyelesaiannya. Untuk itu dalam mengerjakan soal-soal matematika diperlukan siasat atau strategi dalam penyelesaiannya.
Salah satu strategi yang efektif dalam menciptakan pembelajaran aktif dan menyenangkan tentunya dengan melibatkan siswa dalam kegiatan diskusi di kelas. Pembelajaran dengan suasana belajar aktif dan bermakna. Salah satu pendekatan pembelajaran yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu ‘Problem Posing dalam pembelajaran matematika’.
BAB II
PEMBAHASAN
PROBLEM POSING (PEMBENTUKAN SOAL)
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
A. Pengertian Problem Posing
Sutiarso (1999:16), menyatakan bahwa Problem Posing merupakan istilah dalam bahasa inggris, yaitu merumuskan masalah atau membuat masalah. Sedangkan As’ari (2000:5), mengartikan Problem Posing dengan pembentukan soal atau merumuskan soal atau menyusun soal. Lebih lanjut Suryanto (1998:8), menyatakan bahwa Problem Posing mempunyai beberapa arti, yaitu pertama perumusan soal dengan bahasa yang baku/standar atau perumusan kembali soal yang ada dengan beberapa perubahan agar sederhana dan dapat dikuasai, kedua, perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan atau alternatif soal yang masih relevan, dan ketiga, perumusan soal dari suatu situasi yang tersedia baik yang dilakukan sebelum, ketika, atau setelah mengerjakan soal.
Problem Posing merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan pada kegiatan merumuskan masalah untuk membina siswa sehingga dapat meningkatkan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah, sesuai pendapat Cars dalam Sutiarso (1999:26), bahwa untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dapat dengan cara membiasakan siswa untuk merumuskan masalah (Problem Posing). Kegiatan merumuskan masalah juga memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk merekonstruksi pikiran-pikiran dalam rangka memahami materi pembelajaran. Kegiatan tersebut menentukan pembelajaran yang dilakukan siswa lebih bermakna.
Problem posing dapat membantu siswa dalam mencari topik baru dan menyediakan pemahaman yang lebih mendalam. Selain itu juga, problem posing dapat mendorong terciptanya ide-ide baru yang berasal dari setiap topik yang diberikan. Topik disini khususnya dalam pembelajaran matematika. “…problem posing can help student to see standard topic in a new light and provide them with a deeper understanding of it as well. it can also encourage the creation of new ideas derived from any given topic. althought our focus is on the field of mathematics, the stragies we discuss can be applied to activities as diverse as trying”. (Brown dan Walter, 1990: 1).
Selanjutnya istilah ini dipopulerkan dalam berbagai media seperti buku teks, jurnal serta menjadi saran yang konstruktif dan mutakhir dalam pembelajaran matematika. Problem posing adalah istilah dalam bahasa Inggris yaitu dari kata “problem” artinya masalah, soal/persoalan dan kata “pose” yang artinya mengajukan (Echols dan Shadily, 1995: 439 dan 448 dalam Muhfida). Jadi problem posing bisa diartikan sebagai pengajuan soal atau pengajuan masalah.
Problem posing dapat juga diartikan membangun atau membentuk masalah (Tim PTM, 2002: 2). Problem posing dalam matematika mempunyai beberapa arti (Suryanto, 1998 dalam Muhfida) yaitu:
a. Perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai. Hal ini terjadi dalam pemecahan soal-soal yang rumit. Pengertian ini menunjukkan bahwa pengajuan soal merupakan salah satu langkah dalam rencana pemecahan masalah/soal.
b. Perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka pencarian alternative pemecahan atau alternative soal yang relevan (Silver, et.all, 1996). Pengertian ini berkaitan erat dengan langkah melihat kembali yang dianjurkan oleh Polya (1973) dalam memecahkan masalah soal.
c. Perumusan soal atau pembentukan soal dari suatu situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, saat atau setelah pemecahan suatu masalah/soal.
Menurut Brown dan Walter (1990:15) informasi atau situasi problem posing dapat berupa gambar, benda manipulatif, permainan, teorema atau konsep, alat peraga, soal, atau selesaian dari suatu soal. Selanjutnya Suryanto (1998:3) menyatakan bahwa soal dapat dibentuk melalui soal-soal yang ada dalam buku. Stoyanova (1996) mengklasifikasikan informasi atau situasi problem posing menjadi situasi problem posing yang bebas, semiterstuktur, dan terstruktur. Pada situasi problem posing yang bebas, siswa tidak diberikan suatu informasi yang harus ia patuhi, tetapi siswa diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk membentuk soal sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Siswa dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan dalam pembentukan soal. Sedangkan dalam situasi problem posing yang semi terstruktur, siswa diberi situasi atau informasi yang terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mencari atau menyelidiki situasi atau informasi tersebut dengan cara menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Selain itu, siswa harus mengaitkan informasi itu dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika yang diketahuinya untuk membentuk soal. Pada situasi problem posing yang terstuktur, informasi atau situasinya berupa soal atau selesaian dari suatu soal (Yuhasriati, 2002:12).
Setiawan (2004: 17) mengatakan pembentukan soal atau pembentukan masalah mencakup dua kegiatan yaitu :
1. Pembentukan soal baru atau pembentukan soal dari situasi atau dari pengalaman siswa.
2. Pembentukan soal dari soal yang sudah ada.
Dari sini kita bisa katakan bahwa problem posing merupakan suatu pembentukan soal atau pengajuan soal yang dilakukan oleh siswa dengan cara membuat soal tidak jauh beda dengan soal yang diberikan oleh guru ataupun dari situasi dan pengalaman siswa itu sendiri.
Bagi siswa, pembelajaran problem posing merupakan keterampilan mental, siswa menghadapi suatu kondisi dimana diberikan suatu permasalahan dan siswa memecahkan masalah tersebut.
B. Problem Posing dan Relevansinya dengan Matematika
Problem posing atau pembentukan soal adalah salah satu cara yang efektif untuk mengembangkan keterampilan siswa guna meningkatkan kemampuan siswa dalam menerapkan konsep matematika. Tim Penelitian Tindakan Matematika (PTM) (2002 : 2) mengatakan bahwa :
1. Adanya korelasi positif antara kemampuan membentuk soal dan kemampuan membentuk masalah.
2. Latihan membentuk soal merupakan cara efektif untuk meningkatkan kreatifitas siswa dalam memecahkan suatu masalah.
Menurut Brown dan Walter (1990 : 11), “…problem posing can give one a chance to develop independent thinking processes”. Yang artinya problem posing memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat berpikir secara bebas dan mandiri dalam menyelesaikan masalah. Masalah disini tentunya masalah dalam matematika.
Adapun masalah dalam matematika diklasifikasikan dalam dua jenis antara lain:
1. Soal mencari (problem to find) yaitu mencari, menentukan, atau mendapatkan nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam soal dan memenuhi kondisi atau syarat yang sesuai dengan soal. Objek yang ditanyakan atau dicari (unknown), syarat-syarat yang memenuhi soal (condition) dan data atau informasi yang diberikan merupakan bagian penting atau pokok dari sebuah soal mencari dan harus dipenuhi serta dikenali dengan baik pada saat memecahkan masalah.
2. Soal membuktikan (problem to prove), yaitu prosedur untuk menentukan apakah suatu pernyataan benar atau tidak benar. Soal membuktikan terdiri atas bagian hipotesis dan kesimpulan. Pembuktian dilakukan dengan membuat atau memproses pernyataan yang logis dari hipotesis menuju kesimpulan (Depdiknas, 2005: 219).
Silver dkk dalam Surtini (2004: 48) mengemukakan bahwa sebenarnya sudah sejak lama para tokoh pendidikan matematika menunjukkan pembentukan soal merupakan bagian penting dalam pengalaman matematis siswa dan menyarankan agar dalam pembelajaran matematika ditekankan kegiatan pembentukan soal. Begitupun yang ditekankan English bahwa pembentukan soal merupakan inti kegiatan matematis dan merupakan komponen penting dalam kurikulum matematika.
Hasil penelitian Silver dan Cai dalam Surtini (2004: 49) menunjukkan bahwa kemampuan pembentukan soal berkorelasi positif dengan kemampuan memecahkan masalah. Dengan demikian kemampuan pembentukan soal sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika di sekolah sebagai usaha meningkatkan hasil pembelajaran matematika dan dapat meningkatkan kemampuan siswa. Dari sini kita peroleh bahwa pembentukan soal penting dalam pelajaran matematika guna meningkatkan prestasi belajar matematika siswa dengan membuat siswa aktif dan kreatif.
C. Pendekatan Problem Posing Dalam Pembelajaran Matematika
Sesuai dengan kedudukan problem posing merupakan langkah awal dari problem solving, maka pembelajaran problem posing juga merupakan pengembangan dari pembelajaran problem solving. Silver dkk (Sutiarso: 2000) menyatakan bahwa dalam problem posing diperlukan kemampuan siswa dalam memahami soal, merencanakan langkah-langkah penyelesaian soal, dan menyelesaikan soal tersebut. Ketiga kemampuan tersebut merupakan juga merupakan sebagian dari langkah-langkah pembelajaran problem solving.
Mengenai keterkaitan antara problem solving dengan problem posing, Brown & Walter (1993: 21) mengemukakn bahwa posing dan solving berhubungan antara satu dengan yang lainnya seperti orang tua terhadap anak, anak terhadap orang tua dan sebaik saudara kandung. Penelitian Silver dan Cai (1996: 521) menemukan hubungan positif yang kuat antara problem solving dan ketrampilan problem posing anak sekolah menengah. Sedangkan penelitian Hashimoto dalam Muhfida, menunjukkan bahwa pembelajaran problem solving menimbulkan dampak positif terhadap kemampuan siswa dalam problem solving.
Dalam pembelajaran matematika, pengajuan soal menempati posisi yang strategis. Pengajuan soal dikatakan sebagai inti terpenting dalam disiplin matematika dan dalam sifat pemikiran penalaran matematika. (Silver, et.al, 1996:293)
Dalam kurikulum pendidikan matematika di Amerika (NCTM Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics, 1989:70) menganjurkan agar siswa-siswa diberi kesempatan yang banyak untuk investigasi dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan soal-soal dari situasi masalah. (Silver, et.al, 1996:293).
Disamping itu makin bertambah pendidik matematika yang menganjurkan agar siswa diberi kesempatan secara teratur untuk menulis soal (masalah) matematikanya sendiri (NCTM,1989; Kilpatrick,1987; Burns,1992; Witin, Mill dan O’Keefe,1990; Brown & Walter, 1983 dalam English, 1997:172). English (1997:172) menjelaskan pendekatan pengajuan soal dapat membantu siswa dalam mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap matematika, sebab ide-ide matematika siswa dicobakan untuk memahami masalah yang sedang dikerjakan dan dapat meningkatkan performannya dalam pemecahan masalah. Pengajuan soal juga sebagai sarana komunikasi matematika siswa.
Oleh karena itu, problem posing dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengembangkan berpikir matematis atau pola pikir matematis. Menurut Suryanto (1998:3) merumuskan soal merupakan salah satu dari tujuh kriteria berpikir atau pola berpikir matematis.
Problem posing merupakan kegiatan penting dalam pembelajaran matematika. NCTM merekomendasikan agar dalam pembelajaran matematika, para siswa diberikan kesempatan untuk mengajukan soal sendiri (dalam Abdussakir). Silver dan Cai (1996:293) dalam Abdussakir, juga menyarankan agar pembelajaran matematika lebih ditekankan pada kegiatan problem posing. Menurut Cars dalam Abdussakir, untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan dapat dilakukan dengan cara membiasakan siswa mengajukan soal. Sejalan dengan itu, Suparno (1997:83) menyatakan bahwa mengungkapkan pertanyaan merupakan salah satu kegiatan yang dapat menantang siswa untuk lebih berpikir dan membangun pengetahuan mereka.
Menurut Killpatrich dalam Abdussakir, salah satu dasar kognitif yang ada dalam problem posing adalah asosiasi yaitu kecendrungan siswa menggunakan respon pertama sebagai pijakan untuk mengajukan soal kedua, ketiga, dan seterusnya.. Selanjutnya, menurut As’ari (2000:9) dalam Abdussakir, dalam kegiatan problem posing, ketika terjadi proses asosiasi antara informasi baru dengan struktur kognitif yang dimiliki seseorang, maka proses selanjutnya yang terjadi adalah proses asimilasi dan akomodasi.
Di samping itu, Brown dan Walter (1990:15) yang menyatakan pembuatan soal dalam pembelajaran matematika melalui dua tahap kegiatan kognitif, yaitu accepting (menerima) dan challenging (menantang). Menerima terjadi ketika siswa membaca situasi atau informasi yang diberika guru dan menantang terjadi ketika siswa berusaha untuk mengajukan soal berdasarkan situasi atau informasi yang diberikan. Sehubungan dengan hal tersebut As’ari (2000:9) dalam Abdussakir, menegaskan bahwa proses kognitif menerima memungkinkan siswa untuk menempatkan suatu informasi pada suatu jaringan struktur kognitif sehingga struktur kognitif tersebut makin kaya, sementara proses kognitif menantang memungkinkan jaringan stuktur kognitif yang ada menjadi semakin kuat hubungannya. Dengan demikian pembelajaran matematika dengan pendekatan problem posing akan menambah kemampuan dan penguatan konsep dan prinsip matematika siswa.
Pendekatan probelem posing (pengajuan masalah) dapat dilakukan secara individu atau kelompok (classical), berpasangan (in pairs) atau secara berkelompok (groups). Masalah matematika yang diajukan secara individu tidak memuat intervensi atau pemikiran dari siswa yang lain. Masalah tersebut adalah murni sebagai hasil pemikiran yang dilatar belakangi oleh situasi yang diberikan.
Masalah matematika yang diajukan oleh siswa yang dibuat secara berpasangan dapat lebih berbobot, jika dilakukan dengan cara kolaborasi, utamanya yang berkaitan dengan tingkat keterselesaian masalah tersebut. Sama halnya dengan masalah matematika yang dirumuskan dalam satu kelompok kecil, akan menjadi lebih berkualitas manakala anggota kelompok dapat berpartsipasi dengan baik (Hamzah, 2003: 10 dalam Muhfida). Dalam pelaksanaannya dikenal beberapa jenis model problem posing antara lain:
1. Situasi problem posing bebas, siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki . Siswa dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan untuk mengajukan soal.
2. Situasi problem posing semi terstruktur, siswa diberikan situasi/informasi terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mengajukan soal dengan mengkaitkan informasi itu dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Situasi dapat berupa gambar atau informasi yang dihubungkan dengan konsep tertentu.
3. Situasi problem posing terstruktur, siswa diberi soal atau selesaian soal tersebut, kemudian berdasarkan hal tersebut siswa diminta untuk mengajukan soal baru.
D. Langkah-Langkah Pembelajaran Problem Posing
Langkah-langkah pembelajaran dengan problem posing menurut Suyitno (dalam http://herdy07.wordpress.com/2009/04/19/model-pembelajaran-problem-posing/) adalah sebagai berikut :
1. Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Penggunaan alat peraga untuk memperjelas konsep sangat disarankan
2. Guru memberikan latihan soal secukupnya.
3. Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 buah soal yang menantang, dan siswa yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Tugas ini dapat pula dilakukan secara kelompok.
4. Pada pertemuan berikutnya, secara acak, guru menyuruh siswa untuk menyajikan soal temuannya di depan kelas. Dalam hal ini, guru dapat menentukan siswa secara selektif berdasarkan bobot soal yang diajukan oleh siswa.
5. Guru memberikan tugas rumah secara individual.
Sedangkan langkah-langkah pembelajaran dengan problem posing menurut Menon (dalam Tatag Y.E. Siswono, 2000: 9) dapat dilakukan dengan tiga cara berikut :
1. Berikan kepada siswa soal cerita tanpa pertanyaan, tetapi semua informasi yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas siswa adalah membuat pertanyaan berdasar informasi tadi.
2. Guru menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa untuk membagi kelompok. Tiap kelompok ditugaskan membuat soal cerita sekaligus penyelesaiannya. Nanti soal-soal tersebut dipecahkan oleh kelompok-kelompok lain. Sebelumnya soal diberikan kepada guru untuk diedit tentang kebaikan dan kesiapannya. Soal-soal tersebut nanti digunakan sebagai latihan.
3. Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan kemudian diseleksi dari daftar tersebut untuk diselesaikan. Pertanyaan dapat bergantung dengan pertanyaan lain. Bahkan dapat sama, tetapi kata-katanya berbeda.
Dari analisis kedua pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pembelajaran problem posing sebagai berikut :
1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar.
2. Guru menyajikan informasi baik secara ceramah atau tanya jawab selanjutnya memberi contoh cara pembuatan soal dari informasi yang diberikan.
3. Guru memberikan latihan soal secukupnya.
4. Guru membentuk kelompok belajar antara 5-6 siswa tiap kelompok yang bersifat heterogen baik kemampuan, ras dan jenis kelamin.
5. Tiap kelompok ditugaskan membuat soal cerita sekaligus penyelesaiannya, kemudian soal-soal tersebut dipecahkan oleh kelompok-kelompok lain.
6. Selama kerja kelompok berlangsung guru membimbing kelompok-kelompok yang mengalami kesulitan dalam membuat soal.
7. Guru memberi penghargaan kepada siswa atau kelompok yang telah menyelesaikan tugas yang diberikan dengan baik.
8. Guru bertanya-jawab meluruskan kesalahan pemahaman, memberikan penguatan dan penyimpulan dan PR.
E. Problem Posing Secara Berkelompok
Pembelajaran dengan problem posing ini menekankan pada pembentukan atau perumusan soal oleh siswa baik secara individu, maupun secara berkelompok. Setiap selesai pemberian materi guru memberikan contoh tentang cara pembuatan soal dan memberikan informasi tentang materi pembelajaran dan bagaimana menerapkannya dalam problem posing secara berkelompok.
Keuntungan belajar kelompok dalam Roestiah (2001: 17) adalah:
1. Dapat memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menggunakan keterampilan bertanya dan membahas suatu masalah.
2. Dapat mengembangkan bakat kepemimpinan dan mengajarkan keterampilan berdiskusi.
3. Dapat memungkinkan guru untuk lebih memperhatikan siswa sebagai individu serta kebutuhan belajar.
4. Para siswa lebih aktif tergabung dalam pelajaran mereka dan mereka lebih aktif berpartisipasi dalam diskusi.
5. Dalam memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan rasa menghargai dan menghormati pribadi temannya, menghargai pendapat orang lain, hal mana mereka telah saling membantu kelompok dalam usaha mencapai tujuan bersama.
Adapun langkah-langkah belajar kelompok adalah:
Fase Tingkah laku guru
Fase 1
? Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajarFase -2
? Menyajikan informasi Guru, menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan Fase-3
? Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara evisien Fase – 4
? Membimbing kelompok, belajar mengajar Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mengerjakan tugas Fase -5
? Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempersentasikan hasil pekerjaannya Fase-6
? Memberi penghargaan, Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik hasil belajar individu atau kelompok.
(Ibrahim, 2000: 10 dalam Abin)
Jadi langkah-langkah pembelajaran problem posing secara berkelompok adalah :
1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar.
2. Guru menyajikan informasi baik secara ceramah atau tanya jawab selanjutnya memberi contoh cara pembuatan soal dari informasi yang diberikan.
3. Guru membentuk kelompok belajar antara 5-6 siswa tiap kelompok yang bersifat heterogen baik kemampuan, ras dan jenis kelamin.
4. Selama kerja kelompok berlangsung guru membimbing kelompok-kelompok yang mengalami kesulitan dalam membuat soal dan menyelesaikannya.
5. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari dengan cara masing-masing kelompok mempersentasikan hasil pekerjaannya.
6. Guru memberi penghargaan kepada siswa atau kelompok yang telah menyelesaikan tugas yang diberikan dengan baik
H. Kelebihan dan Kekurangan Problem Posing
Dalam setiap pembelajaran pasti ada sisi kelebihan ataupun keunggulan dan kekuruangan atau kelemahan. Begitu juga didalam pembelajaran melalui pendekatan problem posing mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan menurut Rahayuningsih, 2002:18 dalam Sutisna, diantaranya adalah:
1. Kelebihan Problem Posing
1) Kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada guru, tetapi dituntut keaktifan siswa.
2) Minat siswa dalam pembelajaran matematika lebih besar dan siswa lebih mudah memahami soal karena dibuat sendiri.
3) Semua siswa terpacu untuk terlibat secara aktif dalam membuat soal.
4) Dengan membuat soal dapat menimbulkan dampak terhadap kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah.
5) Dapat membantu siswa untuk melihat permasalahan yang ada dan yang baru diterima sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman yang mendalam dan lebih baik, merangsang siswa untuk memunculkan ide yang kreatif dari yang diperolehnya dan memperluan bahasan/ pengetahuan, siswa dapat memahami soal sebagai latihan untuk memecahkan masalah.
2. Kekurangan Problem Posing
1) Persiapan guru lebih karena menyiapkan informasi apa yang dapat disampaikan.
2) Waktu yang digunakan lebih banyak untuk membuat soal dan penyelesaiannya sehingga materi yang disampaikan lebih sedikit.
3) Menentukan masalah yang tingkat kesukarannya sesuai dengan tingkat berfikir siswa, tingkat sekolah, kelas, serta keterampilannya.
4) Merubah sistem belajar siswa sehingga diharuskan didwa berfikir kritis dan bernalar tinggi.
(Sunyosubroto, 2009)
BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Problem posing adalah istilah dalam bahasa Inggris yaitu dari kata “problem” artinya masalah, soal/persoalan dan kata “pose” yang artinya mengajukan (Echols dan Shadily, 1995: 439 dan 448). Jadi problem posing bisa diartikan sebagai pengajuan soal atau pengajuan masalah. Pengertian ini sendiri seperti yang dikatakan oleh As’ari dalam Yansen (2005: 9) menggunakan istilah pembentukan soal sebagai padanan kata untuk istilah problem posing.
Pada prinsipnya, model pembelajaran problem posing adalah suatu model pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal (berlatih soal) secara mandiri.
Dengan demikian, penerapan model pembelajaran problem posing adalah sebagai berikut.
a. Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Penggunaan alat peraga untuk memperjelas konsep sangat disarankan.
b. Guru memberikan latihan soal secukupnya.
c. Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 buah soal yang menantang, dan siswa yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Tugas ini dapat pula dilakukan secara kelompok.
d. Pada pertemuan berikutnya, secara acak, guru menyuruh siswa untuk menyajikan soal temuannya di depan kelas. Dalam hal ini, guru dapat menentukan siswa secara selektif berdasarkan bobot soal yang diajukan oleh siswa.
e. Guru memberikan tugas rumah secara individual.
Problem posing atau pembentukan soal adalah salah satu cara yang efektif untuk mengembangkan keterampilan siswa guna meningkatkan kemampuan siswa dalam menerapkan konsep matematika. Tim Penelitian Tindakan Matematika (PTM) (2002 : 2) mengatakan bahwa :
• Adanya korelasi positif antara kemampuan membentuk soal dan kemampuan membentuk masalah.
• Latihan membentuk soal merupakan cara efektif untuk meningkatkan kreatifitas siswa dalam memecahkan suatu masalah.
2. Saran
Problem posing suatu pendekatan dalam pembelajaran yang terbilang masih baru berada di Indonesia, yaitu sekitar tahun 2000 baru masuk ke Indonesia. Oleh karena itu diharapkan implementasi dari model pembelajaran ini, karena dengan pendekatan problem posing siswa dilatih untuk memperkuat dan memperkaya konsep-konsep dasar matematika. Selain itu pembelajaran problem posing merupakan keterampilan mental, siswa menghadapi suatu kondisi dimana diberikan suatu permasalahan dan siswa memecahkan masalah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
As’ari, A.R. 1998. Penggunaan Alat Peraga Manipulatif dalam Penanaman Konsep Matematika. Jurnal Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Pengajaran. 27(I):1-13
As’ari, A.R. 2000, Problem Posing untuk Peningkatan Profesionalisme Guru Matematika. Jurnal Matematika. Tahun V, Nomor 1, April 2000.
Brown, S. & Walter, R.. 1990. The Art of Problem Posing. London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers
Brown, S. & Walter, R.. (Ed). 1993. Problem Posing : Reflections and Aplications. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Hudojo, H.. 1990. Strategi Belajar Mengajar Matematika. IKIP Malang
Silver, E.A. & Cai, S.. 1996. An Analysis of Arithmetic Problem Posing by Middle School Students, Journal for Research in Mathematics Education. 27: 521-539
Suparno, P. 1997. Filsafat Kontruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suyatno. 2009.Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo. Buana Pustaka.
Suryanto, 1998. Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika. IKIP Malang.
Sutawidjaja, A. 1997. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Jurnal Matematika, Ilmu Pengetahuan, dan Pengajarannya. Volume 26(2):175-187. Pascasarjana UM.
http://m4y-a5a.blogspot.com/2012/04/model-pembelajaran-problem-posing.html
Abdussakir. ( 2009). Pembelajaran Matematika Dengan Problem Posing.http://www.v3a.co.cc/2010/05/model-pembelajaran-problem-posing.html
http://pakgurusaiful.blogspot.com/2012/07/metode-problem-posing.html
0 komentar:
Posting Komentar