Kamis, 03 Maret 2016

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN “Meaningfull Learning (Pembelajaran Bermakna)”



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Seorang ahli psikologi pendidikan bernama David Ausubel. Ia berbeda dari teoriawan – teoriawan lainnya yang hanya berlatar belakang psikologi, tetapi teori – teori mereka diterjemahkan dari dunia psikologi ke dalam penerapan pendidikan. Ausubel memberi penekanan pada “belajar bermakna”, serata retensi dan variabel-variabel yang berhubungan dengan macam belajar ini. Ausubel memeliki gagasan prinsip-prinsip belajar , yaitu belajar bermakna, belajar hafalan, pristiwa subsumi, diferensi progresif, penyesuaian integratif, belajar superordinat, pengatur awal, serta bagaimana teori ini diterapkan dalam mengajar. Dalam makalah ini saya hanya akan membahas salah satu dari prinsip-prinsip Ausubel tersebut, yaitu tentang penjelasan Model Pembelajaran “Belajar Bermakna (Meaningfull Learning)”, prinsip-prinsip, kelemahan dan kelebihan, langkah-langkah, dan aplikasinya pada pembelajaran matematika di sekolah.

1.2     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan kami kemukakan dalam makalah ini adalah:
1.    Model Pembelajaran “Meaningfull Learning” ?
2.    Prinsip-prinsip Model Pembelajaran “Meaningfull Learning”?
3.    Langkah-langkah Model Pembelajaran “Meaningfull Learning”?
4.    Bagaimana aplikasinya Model Pembelajaran “Meaningfull Learning” di sekolah?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Pengertian
Model pembelajaran adalah sebuah metodologi atau sarana atau alat yang digunakan oleh guru secara profesional dengan menjalankan fungsi-fungsinya sesuai dengan metodologi tersebut.
Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat oleh siswa. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik (dalam hal menentukan metode mengajar) untuk membantu peserta didik dalam melaksanakan kegiatan belajar, demi mencapai hasil belajar yang memuaskan.
Pembelajaran dapat menjadi bermakna jika guru sebagai profesional dapat beradaptasi dengan kemajuan teknologi, artinya dapat mengadaptasikan pembelajaran dengan kemajuan zaman. Untuk beradapatsi tersebut perlu dilakukan sebuah perubahan yang bertahap. Tahapan itu adalah:  know, believe, attitude, behavior, habit, dan culture.

1)    Know (Tahu)
Semua stimulus dari akibat interaksi siswa dengan lingkungan akan menjadi bahan dasar untuk mengetahui sesuatu, dan selanjutnya akan berfungsi untuk memicu munculnya perilaku.

2)    Believe (keyakinan)
Setelah siswa mengetahui sesuatu yang baru, yang sudah disaring oleh keyakinannya. Keyakinan yang bersumber dari nilai-nilai yang terbentuk di lingkungan. Jika hal itu bermakna, maka siswa pasti menerimanya.

3)    Attitude (Perilaku)
Setelah siswa mengetahui dan meyakini sesuatu maka sinergi antara apa yang mereka ketahui dan apa yang diyakini pada akhirnya akan membuahkan perilaku.

4)    Behavior (kepribadian)
Perilaku yang ditampilkan adalah akumulasi dati tahu (know), keyakinan (believe) dan perilaku (attitude). Ketiga perpaduan tersebut seringkali disebut sebagai sebuah “software” sedangkan kepribadian (behavior) adalah “hardware-nya”. Jika seorang guru dalam memahami pembelajaran bermakna tidak melalui proses know, believe, hingga attitude, maka bekerjanya akan setangah hati. Sehingga siswa tidak dapat menerima pelajaran dengan baik yang juga akan berdampak pada hasil belajar siswa yang kurang maksimal.

5)    Habit (kebiasaan)
Perilaku yang didemostrasikan secara konsisten adalah kebiasaan (habit) merupakan bentuk kristalisasi perilaku. Jika hal ini terbentuk, maka pembelajaran bermakna akan menjadi menu utama guru dalam hal pembelajaran. Pembelajaran bermakna merupakan proses belajar yang tidak sekadar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh sehingga konsep yang telah dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan. Dengan demikian, agar terjadi kegiatan belajar bermakna maka guru harus selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah dimiliki peserta didik dan membantu memadukannnya secara harmonis konsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang akan diajarkannya.

6)    Culture (budaya)
Budaya adalah cerminan dari nilai-nilai yang diketahui dan diyakini. Budaya merupakan pemantapan dari kebiasaan (habit). Pada tahapan inilah perilaku seseorang sudah melekat dan sulit untuk diubah kembali, meskipun dengan nilai-nilai yang baru.

Belajar bermakna terjadi jika siswa mengaitkan atau menghubungkan informasi baru dengan struktur kognitifnya. Nasution (1982, 158) Belajar bermakna memiliki kondisi-kondisi yaitu sebagai berikut:

?    Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan-bahan baru dengan bahan-bahan lama.
?    Lebih dahulu memberikan ide yang paling umum kemudian hal-hal yang lebih terperinci.
?     Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan lama
?    Mengusahan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnyasebelum ide yang baru disajikan.

Menurut Nana (2005, 189)  dalam  pembelajaran bermakna terdapat syarat-syarat yang dapat menunjang terciptanya pembelajaran bermakna yaitu:

•    Bahan yang dipelajari harus dihubungkan dengan struktur kognitif secara substansial dan dengan beraturan.
•    Siswa memiliki konsep yang sesuai dengan bahan yang akan dihubungkan.
•    Siswa harus memiliki kemauan untuk menghubungkan konsep tersebut dengan struktur kognitifnya secara substansial dan beraturan pula.

Model pembelajaran bermakna (Meaningfull learning) merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dlam struktur kognitif seseorang.
Menurut Ausubel bahan subjek yang dipelajari siswa mestilah “bermakna” (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.
Pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran. Pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa boleh menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan subjek itu mesti sesuai dengan keterampilan siswa dan mesti relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, subjek mesti dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual-emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Belajar bermakna merujuk pada konsep bahwa belajar pengetahuan (sebuah fakta) sepenuhnya dipahami oleh individu dan bahwa individu mengetahui bagaimana fakta yang spesifik berkaitan dengan fakta-fakta yang tersimpan lain atau tersimpan dalam otak.
Proses belajar tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk mendapatkan atau menghasilkan pemahaman yang utuh sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan. Dengan demikian, agar terjadi pembelajaran bermakna maka guru harus selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah dimiliki oleh peserta didik dan membantu memadukannya secara harmonis dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan.
Suparno (1997) mengatakan pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran dimana  informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang dalam proses pembelajaran.
Prof. Muchlas Samani (2007) mengemukakan bahwa apapun metode pembelajarannya, maka harus bermakna (meaningfull learning). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.
Pembelajaran bermakna adalah pembelajaran yang menyenangkan, yang memiliki keunggulan dan meraup segenap informasi secara utuh sehingga konsekuensi akhirnya adalah meningkatkan kemampuan siswa yang akan berdampak pada pencapaian hasil belajar yang maksimal.
Tugas guru adalah membantu memfasilitasi siswa sehingga bilangan pertama tersebut dapat dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Jika seorang siswa tidak dapat mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, maka proses pembelajarannya disebut dengan belajar yang tidak bermakna (rote learning). Berdasar contoh di atas, dapatlah disimpulkan bahwa suatu proses pembelajaran akan lebih mudah dipelajaridan dipahami para siswa jika guru mampu untuk memberi kemudahan bagi siswanya sedemikian sehingga siswa dapat mengaitkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu; demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi.
Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam sekema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan sekema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri. Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan Konstruktivesme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.
            Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.



2.2    Prinsip-prinsip
1.    Pengatur awal (advance organizer)
Pengatur awal atau bahan pengait dapat digunakan guru dalam membantu mengaitkan konsep lama denan konsep baru yang lebih tinggi maknanya. Pemggunaan pengatur awal tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam materi , terutama materi pelajaran yang telah mempunyai struktur yang teratur. Pada saat mengawali pembelajaran dengan prestasi suatu pokok bahasan sebaiknya “pengatur awal” itu digunakan, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
2.    Diferensiasi progresif
Dalam proses belajar bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep-konsep. Caranya unsur yang paling umum dan inklusif dipekenalkan dahulu kemudian baru yang lebih mendetail, berarti proses pembelajaran dari umum ke khusus.
3.    Belajar superordinat
Belajar superordinat adalah proses struktur kognitif yang mengalami petumbuhan kearah deferensiasi, terjadi sejak perolehan informasi dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif tersebut. Proses belajar tersebut akan terus berlangsung hingga pada suatu saat ditemukan hal-hal baru. Belajar superordinat akan terjadi bila konsepkonsep yang lebih luas dan inklusif.
4.    Penyesuaian Integratif
Pada suatu sasat siswa kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua atau lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila nama yang sama diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi pertentangan kognitif itu, Ausable mengajukan konsep pembelajaran penyesuaian integratif Caranya materi pelajaran disusun sedemikian rupa, sehingga guru dapat menggunakan hiierarkhi-hierarkhi konseptual ke atas dan ke bawah selama informasi disajikan. Penangkapan (reception learning).

2.3     Kelebihan
•    Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat.
•    Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
•    Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa.

2.4     Kekurangan
•    Diharuskan mengukur kesiapan peserta didik (minat, kemampuan, struktur kognitif)baik melalui tes awal, interviw, pertanyaan dll.
•    Harus terlebih dahulu mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai peserta didik dari materi tersebut.







2.5    Langkah-langkah
1.    Advace Organizer (Handout)
Penyampaian awal tentang materi yang akan dipelajari siswa diharapkan siswa secara mental akan siap untuk menerima materi kalau mereka mengatahui sebelumnya apa yang akan disampaikan guru.
2.    Progresive Differensial
Materi pelajaran yang disampaikan guru hendaknya bertahap. Diawali dengan hal-hal atau konsep yang umum, kemudian dilanjutkan ke hal-hal yang khusus, disertai dengan contoh-contoh.
3.    Integrative Reconciliation
Penjelasan yang diberikan oleh guru tentang kesamaan dan perbedaan konsep-konsep yang telah mereka ketahui dengan konsep yang baru saja dipelajari.
4.    Consolidation
Pemantapan materi dalam bentuk menghadirkan lebih banyak contoh atau latihan sehingga siswa bisa lebih paham dan selanjutnya siap menerima materi baru.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Teori belajar bermakna dikemukakan oleh David Ausubel dimana pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam  struktur kognitif seseorang. Sedangkan Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dikuasai siswai dan diingat siswa. Suparno (1997) mengatakan pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran.
Menurut Ausubel dalam (Dahar, 1988: 134) belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi disajikan pada siswa, melalui penemuan atau penerimaan. Belajar penerimaan menyajikan materi dalam bentuk final, dan belajar penemuan mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang diajarkan. Dimensi kedua berkaitan dengan bagaimana cara siswa dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran pada struktur kognitif yang telah dimilikinya, ini berarti belajar bermakna. Akan tetapi jika siswa hanya mencoba-coba menghapal informasi baru tanpa menghubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya, maka dalam hal ini terjadi belajar hafalan.
Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
Langkah-langkah yang biasanya dilakukan guru untuk menerapkan belajar bermakna Ausubel adalah sebagai berikut: Advance organizer, Progressive differensial, integrative reconciliation, dan consolidation.
Sintaknya adalah lead-in dengan melakukan kegiatan yang terkait dengan pengalaman, analisi pengalaman, dan konsep-ide; reconstruction melakukan fasilitasi pengalaan belajar; production melalui ekspresi-apresiasi konsep.
Pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa boleh menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan subjek itu mesti sesuai dengan keterampilansiswa dan mesti relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh itu, subjek mesti dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual-emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.



DAFTAR PUSTAKA
Suyatno, Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2009.
Sudjana, N. Dasar-dasar Preoses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996.
Yusuf Handu Miarso, Masyarakat Belajar. Jakarta: Rajawali Press, 1998.
Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran; Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
http://arifwidiyatmoko.wordpress.com/2008/07/29/%e2%80%9djerome-bruner-belajar-penemuan%e2%80%9d/.
http://coretanpembelajaranku.blogspot.com/2012/11/model-pembelajaran-mid-dan-kuasai.html

0 komentar:

Posting Komentar